TIGA CANGKIR KOPI
Tahukah anda bahwa bagi orang-orang suku Balti di pedalaman Pakistan Utara sana tiga cangkir teh mengandung seribu makna? Karena secangkir teh pertama yang mereka sajikan kepada tamu mereka berarti mereka menganggap orang itu masih asing bagi mereka. Cangkir kedua yang mereka hidangkan, berarti tamu itu adalah orang yang dihormati. Dan cangkir ketiga berarti dia telah dianggap keluarga. Untuk keluarga mereka bersedia melakukan apa saja, bahkan mati sekalipun.
Adalah Greg Mortenson pendaki gunung asal Amerika yang telah menghirup tiga cangkir teh yang disuguhkan di sebuah gubuk sederhana di desa Korphe, pedalaman Pakistan Utara. Siapa menduga takdir yang mempertemukan sang tuan rumah dan pendaki gunung yang terdampar itu akan tergores dalam tinta emas sejarah dunia. Merubah jalan hidup keduanya, juga jalan hidup anak-anak di Pakistan Utara.
Ambisi Mortenson untuk menaklukkan puncak gunung tertinggi kedua sedunia di Himalaya -puncak Karakoram (K2)- tidak hanya kandas. Dia bahkan terdampar, tersesat di desa yang tak ada dalam peta yang dibawanya. Dalam keletihan kronis setelah tertatih-tatih selama tujuh hari mencari jalan pulang, akhirnya dia tiba di Korphe, sebuah desa terpencil di pedalaman Pakistan Utara. Di gubuk Haji Ali yang sederhana itulah Mortenson dirawat dan diperlakukan bak tamu istimewa.
Suatu pagi awal musim dingin yang mulai menggigit, pandangan Mortenson terpana. Kerongkongannya serasa tercekat. Dia tidak sedang mengagumi panorama indah di depannya yang terhampar bak goresan kanvas sang maestro. Tidak, dia tidak sedang mengagumi panorama alam yang sanggup menyamarkan kemiskinan yang mendera penghuninya. Tapi dia hampir tak percaya menyaksikan delapan puluh dua anak-anak desa itu sedang berlutut, duduk melingkar di atas tanah yang membeku. Mereka sedang menyimak dengan tekun pelajaran yang diberikan oleh guru mereka. Satu-satunya guru yang mereka miliki bersama-sama dengan desa tetangga mereka. Tak ada gedung sekolah yang bisa melindungi mereka dari hawa dingin yang kejam. Duh, batinnya tertusuk.
“Aku akan membangun sebuah sekolah,” janji Mortenson kepada Haji Ali sebelum kepulangannya ke Amerika.
Untuk memenuhi janji itu tak seperti membalikkan telapak tangan bagi Mortenson. Faktanya di Amerika dia hidup sangat sederhana. Sehari-harinya dia seringkali tidur bergelung selimut dalam mobil jip tua yang dimilikinya. Sebagai bekas militer dan perawat tak tetap di beberapa rumah sakit, mustahil baginya untuk mewujudkan janji itu seorang diri. Maka hari-hari selanjutnya berbutir-butir pil pahit pun harus ditelannya. Dari 580 pucuk surat dan proposal permintaan dana yang dikirimkannya, hanya satu yang berbuah manis. Itu pun tak seberapa, tak cukup untuk membangun sebuah sekolah dengan biaya $ 12.000 itu.
Namun cita-cita adalah sebuah keniscayaan. “Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu,” kata Arai (Sang Pemimpi; Andrea Hirata). Maka Tuhan pun mengirimkan tangan-Nya, menyentuh hati seorang demawan untuk membangunkan sebuah gedung sekolah untuk anak-anak Korphe. Itulah lilin pertama yang menerangi pekatnya langit malam bagi anak-anak di desa Korphe. Dan cahaya itu menerangi desa-desa sekitarnya, hingga akhirnya satu demi satu gedung sekolah berdiri di Pakistan Utara.
Berdirinya sekolah di Korphe, tidak berarti tugas Mortenson telah usai. Banyaknya permintaan dari desa-desa sekitar Korphe dan juga nurani pribadi untuk terus melakukan kebaikan, maka rute panjang itupun ditempuh Mortenson. Dan dia telah belajar satu hal, bahwa tak ada yang tak mungkin jika kita ingin berusaha. Sehingga segala halangan dan rintangan dia teguk, bahkan hidup yang penuh bahaya dilakoninya. Ketika proyek sekolah Mortenson mulai merambah tanah Afganistan, maka bahaya yang dihadapinya tak ringan. Dia bahkan sempat disandera gerombolan bersenjata. Apalagi saat itu hubungan dunia Barat dengan negara-negara Islam sedang dalam voltase tinggi.
Runtuhnya menara kembar WTC di New York telah membuat telunjuk negara-negara Barat mengarah ke timur terutama Afganistan dengan Talibannya. Menyaksikan militer negaranya mulai membordir penduduk-penduduk desa tak berdosa di Afganistan, amarah Mortenson meledak. Dia mulai melancarkan perang yang berbeda, lewat pena di surat-surat kabar Amerika dan di seminar-seminar yang diadakannya. Dia adalah sedikit dari minoritas rakyat Amerika yang berani memberikan suara yang berbeda. Bahwa bukan perang dengan senjata yang akan membawa dunia pada kedamaian abadi, tapi perang terhadap kebodohan, dan kemiskinan. Bahwa radikalisme terjadi bukan karena ajaran agama, namun kemiskinan yang membelenggu dan minimnya pendidikan yang membuat mereka salah memilih jalan. Mengutip kata-katanya di depan kongres Amerika, “Terorisme tidak terjadi lantaran segelintir orang di suatu tempat seperti Pakistan atau Afganistan tahu-tahu memutuskan membenci kita. Hal ini terjadi karena anak-anak tak ditawari masa depan yang cukup baik agar mereka memiliki alasan untuk memilih hidup daripada mati.” Resiko yang ditanggung Mortenson tak ringan atas keberaniannya itu, bahkan ancaman akan dibunuh diterimanya saban hari.
Namun Mortenson telah yakin dengan pilihannya. Bertahun-tahun keluar masuk Pakistan -notabene tetangga Afganistan- bahkan menetap dalam waktu lama telah membawa pencerahan dalam benak Mortenson. Dia telah melihat wajah Islam yang damai dan penuh toleransi di Pakistan. Tak seperti gembar-gembor media massa Barat selama ini.
Sumber: Three Cups of Tea; Greg Mortenson dan David Oliver Relin
Adalah Greg Mortenson pendaki gunung asal Amerika yang telah menghirup tiga cangkir teh yang disuguhkan di sebuah gubuk sederhana di desa Korphe, pedalaman Pakistan Utara. Siapa menduga takdir yang mempertemukan sang tuan rumah dan pendaki gunung yang terdampar itu akan tergores dalam tinta emas sejarah dunia. Merubah jalan hidup keduanya, juga jalan hidup anak-anak di Pakistan Utara.
Ambisi Mortenson untuk menaklukkan puncak gunung tertinggi kedua sedunia di Himalaya -puncak Karakoram (K2)- tidak hanya kandas. Dia bahkan terdampar, tersesat di desa yang tak ada dalam peta yang dibawanya. Dalam keletihan kronis setelah tertatih-tatih selama tujuh hari mencari jalan pulang, akhirnya dia tiba di Korphe, sebuah desa terpencil di pedalaman Pakistan Utara. Di gubuk Haji Ali yang sederhana itulah Mortenson dirawat dan diperlakukan bak tamu istimewa.
Suatu pagi awal musim dingin yang mulai menggigit, pandangan Mortenson terpana. Kerongkongannya serasa tercekat. Dia tidak sedang mengagumi panorama indah di depannya yang terhampar bak goresan kanvas sang maestro. Tidak, dia tidak sedang mengagumi panorama alam yang sanggup menyamarkan kemiskinan yang mendera penghuninya. Tapi dia hampir tak percaya menyaksikan delapan puluh dua anak-anak desa itu sedang berlutut, duduk melingkar di atas tanah yang membeku. Mereka sedang menyimak dengan tekun pelajaran yang diberikan oleh guru mereka. Satu-satunya guru yang mereka miliki bersama-sama dengan desa tetangga mereka. Tak ada gedung sekolah yang bisa melindungi mereka dari hawa dingin yang kejam. Duh, batinnya tertusuk.
“Aku akan membangun sebuah sekolah,” janji Mortenson kepada Haji Ali sebelum kepulangannya ke Amerika.
Untuk memenuhi janji itu tak seperti membalikkan telapak tangan bagi Mortenson. Faktanya di Amerika dia hidup sangat sederhana. Sehari-harinya dia seringkali tidur bergelung selimut dalam mobil jip tua yang dimilikinya. Sebagai bekas militer dan perawat tak tetap di beberapa rumah sakit, mustahil baginya untuk mewujudkan janji itu seorang diri. Maka hari-hari selanjutnya berbutir-butir pil pahit pun harus ditelannya. Dari 580 pucuk surat dan proposal permintaan dana yang dikirimkannya, hanya satu yang berbuah manis. Itu pun tak seberapa, tak cukup untuk membangun sebuah sekolah dengan biaya $ 12.000 itu.
Namun cita-cita adalah sebuah keniscayaan. “Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu,” kata Arai (Sang Pemimpi; Andrea Hirata). Maka Tuhan pun mengirimkan tangan-Nya, menyentuh hati seorang demawan untuk membangunkan sebuah gedung sekolah untuk anak-anak Korphe. Itulah lilin pertama yang menerangi pekatnya langit malam bagi anak-anak di desa Korphe. Dan cahaya itu menerangi desa-desa sekitarnya, hingga akhirnya satu demi satu gedung sekolah berdiri di Pakistan Utara.
Berdirinya sekolah di Korphe, tidak berarti tugas Mortenson telah usai. Banyaknya permintaan dari desa-desa sekitar Korphe dan juga nurani pribadi untuk terus melakukan kebaikan, maka rute panjang itupun ditempuh Mortenson. Dan dia telah belajar satu hal, bahwa tak ada yang tak mungkin jika kita ingin berusaha. Sehingga segala halangan dan rintangan dia teguk, bahkan hidup yang penuh bahaya dilakoninya. Ketika proyek sekolah Mortenson mulai merambah tanah Afganistan, maka bahaya yang dihadapinya tak ringan. Dia bahkan sempat disandera gerombolan bersenjata. Apalagi saat itu hubungan dunia Barat dengan negara-negara Islam sedang dalam voltase tinggi.
Runtuhnya menara kembar WTC di New York telah membuat telunjuk negara-negara Barat mengarah ke timur terutama Afganistan dengan Talibannya. Menyaksikan militer negaranya mulai membordir penduduk-penduduk desa tak berdosa di Afganistan, amarah Mortenson meledak. Dia mulai melancarkan perang yang berbeda, lewat pena di surat-surat kabar Amerika dan di seminar-seminar yang diadakannya. Dia adalah sedikit dari minoritas rakyat Amerika yang berani memberikan suara yang berbeda. Bahwa bukan perang dengan senjata yang akan membawa dunia pada kedamaian abadi, tapi perang terhadap kebodohan, dan kemiskinan. Bahwa radikalisme terjadi bukan karena ajaran agama, namun kemiskinan yang membelenggu dan minimnya pendidikan yang membuat mereka salah memilih jalan. Mengutip kata-katanya di depan kongres Amerika, “Terorisme tidak terjadi lantaran segelintir orang di suatu tempat seperti Pakistan atau Afganistan tahu-tahu memutuskan membenci kita. Hal ini terjadi karena anak-anak tak ditawari masa depan yang cukup baik agar mereka memiliki alasan untuk memilih hidup daripada mati.” Resiko yang ditanggung Mortenson tak ringan atas keberaniannya itu, bahkan ancaman akan dibunuh diterimanya saban hari.
Namun Mortenson telah yakin dengan pilihannya. Bertahun-tahun keluar masuk Pakistan -notabene tetangga Afganistan- bahkan menetap dalam waktu lama telah membawa pencerahan dalam benak Mortenson. Dia telah melihat wajah Islam yang damai dan penuh toleransi di Pakistan. Tak seperti gembar-gembor media massa Barat selama ini.
Sumber: Three Cups of Tea; Greg Mortenson dan David Oliver Relin
0 comments:
Posting Komentar